Mitos Cinta Terlarang Antar Suku di Indonesia , Bukan Hanya Jawa-Sunda
Tahu gak kamu kalau di Indonesia sendiri itu setidaknya ada lebih dari 360 kelompok etnis, lebih tepatnya 1.340 suku bangsa yang ada dan tersebar di bumi pertiwi. Saking banyaknya suku dan etnis di Indonesia, urusan cinta terkadang jadi terhalang.
Terhalang dengan beberapa mitos yang ada, seperti kenapa orang Sunda sebaiknya tidak menikah dengan orang Jawa. Ternyata jawabannya ada pada sejarah dan latar belakang dari keduanya.
Berangkat dari hal itu, di Indonesia seringkali terjadi larangan pernikahan satu suku ataupun berbeda suku. Dimana pasangan yang berasal suku yang sama dilarang menikah karena adanya aturan adat yang masih tetap dipercaya dan dijalankan hingga saat ini.
Pasalnya berbagai aspek kehidupan yang ada di Indonesia sering disangkutpautkan dengan beberapa mitos maupun aturan adat istiadat yang berlaku dalam suatu suku. Termasuk juga dengan mitos atau aturan adat tentang cinta terlarang beda suku maupun satu suku.
Mitos sendiri merupakan bagian dari legenda rakyat atau folklor yang menurut KBBI berarti adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi tidak dibukukan. Bisa dibilang mitos ini hanya cerita yang tersebar dari lisan ke lisan saja.
Di era modern ini sesuatu yang bersifat mitos seringkali ditanyakan ulang dan dicari kebenaran faktanya. Tetapi di Indonesia, rasa-rasanya mitos telah mendarah daging meski fakta telah disuguhkan.
Kalian mungkin sudah sering mendengar kalimat “Cintaku kandas kepentok hitungan Jawa” atau "Wetonmu Ora Pas Cintamu Kandas". Memang banyak mitos yang beredar di Jawa terkait dengan pernikahan. Seperti adanya hitungan weton sampai mitos larangan pernikahan Jawa-Sunda. Kali ini bukan masalah weton atau suku, akan tetapi masalah garis keturunan dan daerah tempat tinggal.
Berikut ini adalah beberapa mitos cinta terlarang antar suku di Indonesia.
1. Suku Sunda dan Jawa
Pernikahan antara dua suku ini memang yang paling sering menjadi bahasan di masyarakat kita. Menjadi hal yang cukup tabu untuk membiarkan dua suku ini bersatu dalam satu ikatan pernikahan. Persepsi di masyarakat akan tabunya pernikahan antara suku Jawa-Sunda ini berdasar dari kisah masa lalu.
Kisah ini dilatarbelakangi legenda Perang Bubat. Ketika Kerajaan Majapahit berjaya, Prabu Hayam Wuruk memiliki keinginan untuk memperistri putri Dyah Pitaloka atau Citaresmi dari Kerajaan Sunda Galuh. Hayam Wuruk kemudian mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Prabu Linggabuana untuk melamar putrinya.
Keinginan menikah dengan putrinya itu diterima dan upacara pernikahan akan berlangsung di Majapahit. Maharaja Prabu Linggabuana bersama permaisuri dan putrinya serta rombongan Kerajaan Sunda Galuh berangkat ke Majapahit dan diterima di Pesanggrahan Bubat.
Namun kedatangan itu menimbulkan kesalahpahaman. Tertulis dalam Kidung Sundayana, Patih Gajah Mada meminta agar Hayam Wuruk tak menjadikan kesempatan tersebut sebagai pernikahan semata melainkan menaklukan Kerajaan Sunda Galuh.
Hal ini dimaksudkan agar Sumpah Palapa tercapai karena saat itu hanya tinggal kerajaan Sunda Galuh yang belum bisa ditaklukkan, meski sudah dua kali diserang oleh Kerajaan Majapahit.
Dari kesalahpahaman dan perselisihan yang terjadi antara antara Patih Sunda bernama Anepaken dan pejabat tinggi Sunda dengan Gajah Mada, akhirnya terjadilah perang Bubat.
Dalam perang ini disebutkan bahwa Raja Linggabuana, para menteri dan semua prajurit Kerajaan Sunda Galuh gugur. Tapi ternyata masih ada yang hidup, yang digambarkan sebagai mantri Sunda bernama Pitar. Dialah yang mengabarkan kondisi ini pada sang permaisuri dan putri Dyah Pitaloka.
Dikarenakan saat itu Kerajaan Sunda Galuh masih menganut agama Hindu dan untuk membela kehormatan serta harga diri negaranya maka Putri Dyah Pitaloka, permaisuri dan istri para mantri Sunda memutuskan untuk bela pati (bunuh diri) di atas jenazah suami atau ayah mereka.
Sepeninggal almarhum raja Linggabuana, Niskala Wastu Kancana adik dari putri Diah Pilatoka, yang kala itu masih kecil berada di bawah asuhan pamannya, yakni adik ayahnya bernama Hyang Bunisora atau Suradipati memimpin Kerajaan Sunda Galuh.
Saat, beranjak dewasa, Niskala Wastu Kancana, yang juga dikenal dengan nama Prabu Siliwangi, memimpin langsung kerajaan yang kini dikenal dengan sebutan Padjadjaran.
Dalam masa pemerintahannya, ia membuat kebijakan yang memutus hubungan diplomatik dengan Majapahit dan mengeluarkan larangan yang dikenal dengan sebutan larangan estri ti luaran (beristri dari luar) bagi kalangan Kerajaan Sunda. Larangan secara rinci tentang hal ini terdapat dalam Naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesyan. (Ekadjati"2005 : hal.196)
Larangan tersebut kemudian diartikan lebih luas lagi dimana suku Sunda tidak diperkenankan menikahi suku Jawa. Dari sinilah mitos orang Sunda dilarang menikah dengan orang Jawa bermula. Bahkan, jika ada yang nekat melakukannya, konon katanya rumah tangga mereka tidak akan berlangsung lama.
2. Suku Batak dan Jawa
Mitos serupa juga berkembang di tengah-tengah suku Batak dan Jawa. Konon katanya, kedua suku ini juga tidak cocok untuk dipersatukan dalam sebuah pernikahan. Namun hal ini bukan karena kisah masa lalu, tapi karena karakter yang dibawa masing-masing suku.
Perkawinan antara Batak-Jawa disimbolkan sebagai perkawinan antar si Dominan dan si Submisif . Selain itu, adanya pandangan yang kuat bahwa orang Batak memiliki karakter keras (dominan) dan orang Jawa memiliki karakter penurut (submisif), membuat munculnya anggapan bahwa akan ada kasus "penindasan" di dalam hubungan Batak-Jawa.
Perbedaan agama juga seringkali membuat pernikahan antara suku Batak dan Jawa menjadi sesuatu yang kerap dihindari. Padahal jika dilihat saat ini, suku Batak tak hanya beragama Kristen saja, ataupun suku Jawa hanya beragama Islam saja.
Notty J Mahdi, Antropolog dalam Forum Kajian Antropologi Indonesia, dilansir kumparan.com, menyebutkan bahwa adat istiadat kedua masyarakat ini juga kompleks dan rumit dalam life cycle atau putaran hidup manusia, dan berbeda satu sama lain. Marga penting dalam masyarakat Batak karena mereka mengikuti garis ayah. Bila pria Batak menikah dengan perempuan di luar Batak harus diadakan pesta adat pemberian marga pada istri non Batak agar keturunan mereka kelak dapat berperan dalam adat.
Bagi orang Minang, masih banyak yang menganut sistem matrilineal di mana tata kehidupannya diatur oleh ibu sebagai pengambil keputusan dalam keluarga termasuk dalam ranah ekonomi. Hal ini jelas berbeda sekali dengan orang-orang yang lahir dan berdarah Sunda.
Jika ada perempuan Sunda yang menikah dengan laki-laki Minang, atau sebaliknya, hal tersebut dipercaya bisa mendatangkan masalah. Menurut mitos, perempuan Sunda kerap dikenal dengan kebiasaan yang suka berfoya-foya dan matre. Sementara ada stereotip menyebutkan bahwa orang Minang itu hemat namun terkadang pelit.
Selain itu, Notty juga menyebutkan bahwa masyarakat Minangkabau mengikuti adat matrilineal di mana garis ibu yang diikuti. Anak-anak keturunannya mengikuti marga ibu mereka. Perempuan-perempuan Minangkabau terbiasa menjadi pengambil keputusan dalam keluarga, begitupun dalam ranah ekonomi. Sesuatu yang amat berbeda dengan kebudayaan Sunda yang menganut patrilineal atau adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah.
Terlepas dari benar tidaknya mitos-mitos tersebut, semua kembali ke keyakinan masing-masing. Meskipun menikah dengan beda suku, banyak juga kok yang adem ayem dan langgeng sampai sekarang. Semua kembali ke sikap dan cara menghadapi masalah antara kamu dan pasangan. Setuju ?