Mengenal Kalender Jawa , Neptu Dina, Pasaran, Sasi , Taun dan Weton -->

Mengenal Kalender Jawa , Neptu Dina, Pasaran, Sasi , Taun dan Weton

Orang Jawa dikenal sebagai salah satu suku masyarakat yang memiliki kekayaan serta kompleksitas kebudayaan yang luar biasa. Salah satunya ialah kalender Jawa. Mereka memiliki pola penghitungan kalender tersendiri yang berbeda dengan kalender Masehi, kalender Islam, kalender Cina, ataupun kalender lainnya.

Sebagian orang, mungkin tidak asing dengan penanggalan Jawa. Penanggalan ini merupakan sebuah sistem yang bermula dari Kesultanan Mataram dan telah digunakan sejak zaman tersebut.

Diciptakan pada masa pemerintahan Sultan Agung (Raja Mataram Islam) yang berkuasa dari tahun 1613 hingga 1645 M.

Kalender Jawa memiliki keistimewaan karena memadukan sistem penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu, dan sedikit pengaruh penanggalan Julian.

MENGENAL KALENDER JAWA

Pada awalnya kawasan Nusantara ini khususnya Jawa menggunakan hitungan Saka, suatu penanggalan yang beradasarkan perhitungan Hindu dan dikenal dengan Saka yang dinisbahkan kepada seorang raja hindu di India yaitu Aji Saka, tepatnya 1555 saka atau 1633 M atau tepatnya lagi 1043 H Raja Jawa Mataram Islam yaitu Sultan Agung yang bergelar Sri Sultan Muhammad Sultan Agung Prabu Anjokrokusumo telah menyesuaikan penanggalan hindu dan Jawa ke dalam penanggalan Hijriyah yang berdasarkan penanggalan bulan (Lunar Year)[1].

Namun kebijakan ini menjadikan perbedaan antara kalender Jawa dan Kalender Masehi akan muncul perbedaan 1/120 hari , maka dari hal tersebut setiap 120 tahun kalender jawa (15 windu) harus diundur satu hari[2] maksudnya satu tahun yang sebenarnya tahun panjang (wuntu) dijadikan tahun pendek (wastu).

Selanjutnya Sultan Agung menetapkan 12 bulan dengan nama-nama sebagai berikut : Suro, Sapar, Bakdo Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akir, Rejeb, Ruwah, Poso, Syawal (Bodo), Dulkongidah, dan Besar, untuk mengenalnya dalam pergantian tahun diperkenalkan “Huruf”, dengan penjelasan sebagai berikut :

    1. Mulai 1 Suro Alip th 1555/1043 H (8 Juli 1633 H) sampai permulaan tahun 1627/1115 H (17 Mei 1703 M) hurufnya JAMUNGIYAH Legi.
    2. Mulai permulaan tahun 1627/1115 H (17 Mei 1703) sampai permulaan tahun 1747/1235 H (20 Oktober 1819 M) hurufnya CHOMSIYAH KLIWON (Amiswon).
    3. Mulai tahun 1747/1235 H (20 Oktober 1819 M) sampai permulaan tahun 1867/1355 H (24 Maret 1936 M) hurufnya ARBANGIYAH WAGE (Aboge).
    4. Mulai permulaan tahun 1867/1355 H (24 Maret 1936 M) sampai permulaan tahun 1987/1475 (selama 120 tahun) hurufnya Tsalatsiyah Pon (Asopon)[3]

Dalam aplikasi sehari-hari masyarakat Jawa dikenalkan pasaran yang dahulu digunakan untuk pusat aktivitas dan dikenal kemudian istilah Wage, Kliwon Legi, Pahing dan Pon.

Kemudian setiap tahun dalam sewindu diberi nama sebagai berikut : tahun alip, tahun ehe, tahun jim-awal, tahun ze, tahun dal, tahun be, tahun waw, tahun jim akhir.

Nama-Nama Bulan dalam Kalender (Penanggalan) Jawa

Nama-nama bulan dalam kalender Jawa sebagian diambil (serapan) dari Kalender Hijriyah dengan nama-nama Arab dan sebagian lagi menggunakan nama dalam bahasa Sanskerta dan Melayu.

No.  Nama Bulan Jumlah hari
Sura 30
Sapar 29
Mulud atau Rabingul awal 30
Bakda Mulud atau Rabingulakir 29
Jumadilawal 30
Jumadilakir 29
Rejeb 30
Ruwah (Arwah, Saban) 29
Pasa (Puwasa, Siyam, Ramelan) 30
10  Sawal 29
11  Séla (Dulkangidah, Apit) 30
12  Besar (Dulkahijjah) 29/30

Kalender Jawa memiliki keistimewaan karena memadukan sistem penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu, dan sedikit pengaruh penanggalan Julian.

Selain itu, sistem kalender Jawa saat ini memakai dua siklus hari, yaitu siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari atau disebut saptawara dan juga siklus lima hari pasaran atau pancawara

Selain saptawara dan pancawara, sistem kalender Jawa juga mengenal siklus enam hari atau disebut sadwara. Lalu, apa itu pancawara atau siklus lima hari pasaran dalam kalender Jawa?

Pancawara adalah sebuah pekan yang terdiri dari lima hari dalam kalender Jawa.

Lima Hari Pasaran Kalender Jawa

Jika di kalender Masehi terdapat tujuh hari, maka berbeda lagi dengan kalender Jawa. Dalam kalender Jawa hanya ditemukan lima hari yang disebut pasaran. Lima hari tersebut terdiri dari Pahing (Jenar), Pon (Palguna), Legi (Manis), Wage (Cemengan), dan Kliwon (Kasih).

Masing-masing hari dalam pancawara memiliki bobot angka yang biasa disebut dengan neptu, seperti Pahing memiliki neptu 9, Pon memiliki neptu 7, Wage memiliki neptu 4, Kliwon memiliki nepatu 8, dan Legi memiliki neptu 5.

Fakta menariknya, masyarakat dahulu khususnya para pedagang, kerap menggunakannya sebagai petunjuk untuk membuka pasar. Kemudian dari hari-hari pasaran tersebut, masyarakat Jawa dapat mengetahui pasar mana yang paling ramai pada hari itu.

Hari (Dinten/Dino)

Sama seperti halnya sistem kalender Masehi, penanggalan Jawa juga memakai sistem pembagian hari menjadi 7.

Urutan Dinten Hari (Masehi)
1 Senen Senin
2 Selasa Selasa
3 Rebo Rabu
4 Kemis Kamis
5 Jemah Jumat
6 Sebtu Sabtu
7 Akad Minggu

Tahun Jawa

Di dalam Penanggalan Jawa, Tahun bukanlah satuan kalender yang terbesar tetapi dikenal yang namanya Windu yaitu 8 Tahun. Satuan windu ini dinamakan Tahun Jawa yang konsepnya tentu saja sangat berbeda dengan Tahun Masehi.

Nama nama dan lama hari dari Tahun Jawa berada di Tabel Tahun Jawa berikut

Urutan Sasi Alias Jumlah Hari
1 Mukarom Suro 30
2 Sapar - 29
3 Robi'ulawal Mulud 30
4 Robi'ulakir Bakda Mulud 29
5 Jumadilawal - 30
6 Jumadilakir - 29
7 Rojab Rejeb 30
8 Sakban Ruwah, Arwah 29
9 Romadon Pasa, Ramelan, Puwasa 30
10 Sawal - 29
11 Dulkodah Séla, Dulkangidah, Apit 30
12 Dulkijah Besar 29/30*

Seiring berjalannya waktu kalender Jawa mulai tidak begitu digunakan oleh sebagian orang Jawa. Hal ini tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

    (1) masyarakat Jawa banyak yang tidak mengenal kalender Jawa;
    (2) penggunaan kalender Masehi yang digunakan oleh mayoritas masyarakat di Indonesia menutup ruang berkembangnya kalender Jawa;
    (3) Kalender Jawa dipandang sebagai kalender yang memiliki perhitungan yang lebih rumit jika dibandingkan dengan kalender Masehi, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempelajarinya;
    (4) Kalender Jawa yang banyak perhitungan dipandang kurang sesuai dengan ajaran Islam, terlebih Islam sudah memiliki kalender sendiri.
Beberapa alasan tersebutlah yang paling tidak mempengaruhi terhadap menurunnya eksistensi Kalender Jawa.

Meskipun demikian, dalam realitanya masyarakat Jawa masih banyak yang menggunakan perhitungan kalender Jawa khususnya ketika akan melaksanakan perkawinan atau punya hajat.

Menurut pengamatan saya, se-modern apapun tipe manusia Jawa, nyatanya hampir sebagian besar masih menggunakan perhitungan Jawa ketika akan melangsungkan perkawinan.

Terlepas dari percaya dan tidak percaya itu kembali lagi kepada keyakinan setiap individu masing-masing. Poin penting yang ingin saya sampaikan bahwa pada dasarnya kita (orang Jawa) wajib menjaga dan melestarikan pola perhitungan kalender Jawa sebagai aset kebudayaan yang memiliki nilai tinggi, sehingga jangan sampai ilmu pengetahuan yang sedemikian luar biasa ini kemudian hilang ditelan masa.

Anda mungkin menyukai postingan ini

Dapatkan Update dari CITOGOK di Google News Dengan klik LINK/GAMBAR DIBAWAH INI dan jangan lupa follow
Image
  1. Untuk menyisipkan sebuah kode gunakan <i rel="pre">code_here</i>
  2. Untuk menyisipkan sebuah quote gunakan <b rel="quote">your_qoute</b>
  3. Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image">url_image_here</i>

DMCA.com Protection Status

Page Load Time...

Nih buat jajan